Makna Sundal
Wanita sundal itu adalah yang rela dirinya disetubuhi oleh semua lelaki. Kemudian dia berasa nikmat dan seronok untuk berbuat lagi. Lantas dia menyeru kepada lelaki lain yang lalu dihadapannya: “Kemarilah dan bersatulah kita kerna tuhan telah jadikan kita untuk bersama”.
Setelah selesai dari menyeru dan berbuat keji, maka dia beranggapan bahawa inilah jalan yang mulia dan memenuhi makna hidup. Dia beriman dan memperjuangkan kerjanya itu. Justeru, cukuplah dinisbatkan “sundal” kepada dirinya.
Begitu juga ketika ada dari Umat Islam ini yang beriman dan berusaha untuk menyatukan seluruh fikrah dan firqah agar bergabung dan berkerjasama – duduk dalam sebuah jamaah atau partai. Lalu dengan harapan Islam akan menjadi mulia dan unggul seperti dahulu kala. Mereka berkata “apa yang diperselisihkan, jangan diperbincangkan tapi kita berkerjasama atas dasar yang disepakati”.
Maka bergulatlah Syiah yang mengatakan Ummul Mu’minin A’isyah itu pelacur dan seluruh sahabat itu munafik melainkan 4 orang sahaja, si Khawarij yang beriman bahawa penguasa Muslim yang tidak melaksanakan hudud adalah kafir dan wajib dicopot kekuasaannya, Qadariyah yang tidak mempercayai Allah itu menetapkan taqdir atas umatnya, Jahmiyah yang menafikan sifat Allah, Murjiah yang percaya bahawa seorang pembunuh itu digerakkan oleh Allah, Ahbash yang mengkafirkan seluruh ulama ahlus sunnah, dan quraniyun yang mengatakan bahawa menjadi kafir tatkala kita menggunakan hadith.
Seandainya kita membenarkan mereka bergabung dan bermuafakat dengan mereka, ibarat kata pujangga “bulat air kerana pembentung, bulat kata kerana muafakat” maka jadilah kita penyundal agama. Kita lacurkan agama kita kepada ahli bid’ah sehingga mereka merobek kesucian Islam.
Perpecahan Sudah Di Janjikan
Padahal perpecahan dalam jasad agama samawi telahpun dijanjikan malah telah berlaku sebelum kehadiran Nabi Muhammad saw. Berlaku perpecahan dalam agama Nabi Musa dan seterusnya berlaku pada agama Nabi Isa. Lantas Allah menjanjikan pula kepada Nabi Muhammad saw.
“Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan, terpecah umat Nashrani menjadi 72 golongan, sedangkan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan” Hadits ini masyhur, diriwayatkan oleh sejumlah banyak Shahabat, dikeluarkan oleh imam-imam yang adil, yang hafal hadith seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, Ibnu Hibban, Abu Ya’la al-Muushili, Ibnu Abi ‘Ashim, Ibnu Bathah, al-Ajiri, ad-Darimi, dan al-Lalikai. Juga dishahihkan oleh sejumlah besar ahlul ilmu, seperti at-Tirmidzi, al-Hakim, adz-Dzahabi, as-Suyuti, dan asy-Syatibi.
Begitu jugaRasulullah memperingatkan kepada umatnya bahawa kaum Muslimin akan berpecah seperi umat terdahulu. Apa yang dilakukan oleh umat terdahulu, pasti akan ada dari umat ini yang menurutinya. Apa yang terjadi kepada umat terdahulu, pasti ia akan terjadi pula kepada kita. “Kalian pasti akan mengikuti jejak orang-orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, dan seandainya mereka memasuki lubang biawak, kamu pasti akan mengikutinya” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka orang Yahudi dan Nashrani?” Rasulullah menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” [HR. al-Bukhari, Fathul Bari: 13/300, Muslim hadits nomor 2669, hadits shahih]
Dari Abu Amir Abdullah bin Luhai, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya dia (Mu’awiyah) pernah berdiri dihadapan kami, lalu ia berkata : Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di hadapan kami, ke…mudian beliau bersabda : Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kami dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. (Adapun) yang 72 akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, iaitu “Al-Jama’ah”. Hadith ini asalnya hasan kerana ada rawi bernama Azhar bin Abdullah, tetapi hadits ini menjadi sahih dengan syawahid.
Oleh yang demikian, tiada seorang pun dari manusia yang beriman lagi berakal mampu untuk menafikan perpecahan yang berlaku dalam umat ini. Demi Allah! Tidak ada seorang manusia pun walau dia sehebat Fir’aun dan Namrud yang mampu untuk menyatupadukan umat ini kerana perpecahan adalah janji sang pencipta – Azzawajalla.
Lantas Apakah Makna Perintah Untuk Bersatu?
Sekiranya usaha untuk bersatu selagi umat itu bernama Muslim dan bersyahadah, sebagai sebuah upaya sia-sia, lantas apa gerangan ayat Tuhan yang berisi ajakan bersatupadu dan jangan bercerai berai?
Allah berfirman dalam Kitab Al Qur’an bahawa:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (al-Imran : 103)
Begitu juga ketika Allah berfirman pada ayat seterusnya:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”. (Ali Imran:105)
Lantas dalam surat yang lain Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka”. (Al-An’am:159)
Inilah yang menjadi persoalan, apakah makna untuk bergabung padahal umat tidak mampu untuk menjelmakannya? Sepertinya Allah itu menyuruh umat ini berbuat sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan? Atau tanggapan “upaya menggabungkan umat pada satu persatuan adalah pekerjaan sia-sia” merupakan sebuah ijtihad batil dan serampangan?
Lantas atas dasar inilah Ikhwanul Muslimin merangka kerja mereka: bergabung dalam sebuah jamaah tanpa mengira fiqrah dan firqah, selagimana mereka semua bersyahadah dan beriman kepada Allah Rabbul Jalil. Hasan Al Bana berkata : “Dakwah Ikhwanul Muslimin tidaklah ditujukan untuk melawan satu aqidah, agama, ataupun golongan, karena faktor pendorong perasaan jiwa para pengemban dakwah jama’ah ini adalah berkeyakinan fundamental bahawa semua agama samawi berhadapan dengan musuh yang sama, iaitu atheisme”. (Qafilah Al-Ikhwan oleh Abbas As-Siisi)
Abbas As Siisi adalah pengemban da’wah Ikhwanul Muslimin generasi awal, malah beliau berbai’at dengan Hassan Al Banna dan berjuang bersama-sama Hasan Al Banna. Sehinggakan ketika beliau wafat, jenazahnya disolatkan oleh Mursyid Am Muhammad Mahdi Akif. Pasti beliau sangat mengenali Hasan Al Banna sehingga kitab beliau ini tidak pernah dibantah dan didustakan.
Begitu juga Hasan Al-Banna pernah berkata: “Sesungguhnya permusuhan kita dnegan Yahudi bukanlah karena agama, karena Al-Qur’an Al-Karim menganjurkan untuk bersahabat dan berteman dengan mereka.” [Ikhwanul Muslimin Ahdasun Suna’ati Tarikh karya Mahmud Abdul Karim]
Bagi mengukuhkan hujjah mereka, dibawakan beberapa hadith tentang perpaduan dan sikap seorang mukmin terhadap mukmin yang lainnya.
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal bagaimana mereka saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyayangi adalah seperti satu tubuh. Apabila ada sebagian dari tubuhnya sedang sakit, maka bagian tubuh yang lain turut merasakannya, sehingga membuatnya tidak bisa tidur dan demam”. (H R Muslim)
Begitu juga dengan hadith ini:
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya”. (H R Bukhari dan Muslim)
Maka berdasarkan ayat-ayat dan hadith-hadith ini, menjadi kewajiban kepada umat Islam agar bersatupadu tanpa mengira mazhab dan pemikiran. Kerana berpecahbelah itu dilaknat dan diancam oleh Tuhan.
Tali Allah
Sabar Ikhwanul Muslimin dan orang-orang yang sama pemikiran dengannya! Apakah pemikiran ini benar dan pernah dianut oleh generasi Salaf As Soleh? Apakah hujjah yang kalian pakai absah dan benar pemahamannya? Dan apakah tiada ayat dan hadith yang menunjukkan kebalikan dari pemahaman kalian?
Kita cermati setiap hujjah kalian terlebih dahulu sebelum kami membawakan hujjah kami. Kita melihat tafsir ayat 103 pada Surat Ali Imran. Dengan tegas Allah mewajibkan setiap jiwa agar tetap berpegang teguh dengan Tali Allah. Mengindikasikan bahawa seluruh umat ini wajib untuk tetap bersama-sama Tali Allah dan jangan menyelisihinya. Sekiranya kita menyelisihi Tali Allah maka kita akan menjadi berpuak-puak dan bercerai-berai. Maka hukum menyelisihi Tali Allah itu berupa sebuah keharaman dan kejahatan. Sehingga jika tidak ada yang menyelisihi Tali Allah maka tiada pula perpecahan dan cerai berai.
Ibn Katsir berkata dalam Tafsirnya: “Allah telah memerintahkan kepada mereka utk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah utk bersatu dan berkumpul.”
Oleh itu, dalam Tafsir Ibn Katsir, dinyatakan bahawa Tali Allah adalah Al Qur’an. Abdullah bin Mas’ud ra berkata : “Sesungguhnya jalan ini di hadiri oleh para setan yang menyeru : “Wahai hamba Allah, mari kesini! Ini adalah jalan (yang lurus)”, untuk menghalangi mereka dari jalan Allah. Maka berpegang teguhlah dengan tali Allah, karena sesungguhnya tali Allah itu adalah Kitabullah”. (Tafsir Ibn Jarir At Thabari)
Ima Tabari meriwayatkan hadits ‘Athiyyah bin Abi Sa’id, bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda: “Kitab Allah itu adalah tali Allah yang di ulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Katsir I/388-389)
Malah Tali Allah itu juga adalah Al Qur’an dan As Sunnah, kerana apabila mengikut Al Qur’an pastu secara otomitasnya akan mengikuti As Sunnah. Ini dikuatkan lagi oleh hadith Nabi:
“Aku tinggalkan sesuatu untuk kalian. Bila kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, iaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (H R. Imam Malik, Al-Hakim)
Setelah itu dapat kita pahamai bahawa perintah untuk berpegang kepada Tali Allah adalah sebuah suruhan agar tetap berdiri teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah, tanpa meninggalkanya walaupun sedikit, ibarat seorang yang sedang bergayut dengan memegang kepada seutas tali, maka jika dia melepaskan satu jari, pasti lama kelamaan dia akan melurut jatuh.
Kerana itu, ayat ini bukan menjadi hujjah bagi seluruh manusia betgabung tanpa mengira fikrah, malah ia sendiri adalah sebuah hujjah pemungkas kepada ahlul bid’ah agar mereka meninggalkan bid’ah mereka dan kembali kepadaa pangkuan ahlus sunnah. Ini dijelaskan lagi dengan sabda Nabi:
“Sesungguhnya barang siapa yang masih hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perbedaan prinsip yang banyak sekali, untuk itu wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham dan jauhilah perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama itu bid’ah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Maka perintah bergabung dengan ahlul bid’ah tidak pernah wujud dalam Agama Islam! Sesiapa yang mengatakan ada, maka dia berdusta. Lihatlah kepada ayat seterusnya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (ali Imran : 104)
Oleh kerana Allah telah menetapkan bahawa umat ini akan berpecah lantaran kedegilan mereka dari berpegang-teguh dengan Al Kitab dan As Sunnah, maka Allah memerintahkan Ahlus Sunnah untuk tetap berda’wah kepada umat. Itulah sekelompok kecil umat manusia yang mereka tetap tidak melakukan bid’ah dan meniti pada jejak salaf.
Ibnu Baththah menerangkan sebab bersatunya kalimat salaf : “Terus-menerus generasi pertama umat ini diatas (jalan) ini semua, (yakni) di atas persatuan hati dan kecocokan madzhab. Kitabullah (Al-Qur’an) sebagai penjaga mereka, sunnahnya Rasulullah sebagai imam mereka. Mereka tidak menggunakan pendapat-pendapat mereka dan tidak tergiur dengan hawa nafsu mereka. Maka terus-menerus manusia dalam keadaan demikian, hati-hati mereka terjaga dengan penjagaan Tuhan mereka, dan jiwa-jiwa mereka tertahan dari hawa nafsu dengan pertolongan Tuhannya.” (lihat Kitab Al-Ibanah 1/237).
Kemudian setelah Ahlus Sunnah menerangkan kebenaran kepada umat manusia, maka Allah membri peringatan kepada manusia dengan berkata:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (ali Imran : 105)
Ini sebagai peringatan kepada manusia agar mereka kembali kepada Ahlus Sunnah, meninggalkan kebid’ahan mereka dan bergabung bersama Ahlu Sunnah. Sekiranya mereka ingkar, maka Allah akan menimpakan azab yang pedih atas mereka.
Justeru, persatuan itu bukannya bersama-sama dengan semua fiqrah sebaliknya adalah bersatu dengan kebenaran. Inilah yang dinamakan sebagai persatuan dan perpaduan. Bukan seperti yang difahami oleh orang awam iaitu berkumpulnya seluruh manusia dalam sebuah persatuan.
Perpaduan Adalah Al Jama’ah, Bukannya Bersatu Pada Sebuah Kesatuan Manusia
Justeru Jama’ah atau perpaduan itu adalah Kebenaran. Bukannya bersatu seluruh umat dalam sebuah kesatuan. Menurut Ibnu Mas’ud, yang dimaksud “tali Allah” adalah Al-Jama’ah sementara Imam Al-Qurthubi menyatakan, sesungguhnya Allah memerintahkan supaya bersatu padu dan melarang berpecah belah, karena perpecahan itu adalah kerusakan dan persatuan (Al-Jama’ah) itu adalah keselamatan. (Tafsir Qurthubi IV/159)
Ini bersumber dari hadith Nabi: “Tetaplah kamu pada Jama’ah Muslimin dan Imam mereka” (Muttafaq alaih dari Hudzaifah bin Yaman)
Nabi juga berkata: “Al-Jamaah: Iaitu yang serupa dengan apa yang ada pada diriku dan para sahabatku”.[Lihat: تحفة الاحوذى 7/399-340. Berkata Turmizi: Hadis ini hasan dan gharib. ]
Lantaran itu Ibnu Mas’ud berkata: “Al-Jama’ah adalah sesuatu yang menetapi al-haq walaupun engkau seorang diri” (Al-Lalaka’I dalam As-Sunnah; Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dalam Ighatsul Lahfan 1/70).
Beliau menggambarkan bahawa Perpaduan adalah bersatunya seorang mansia kepada Tali Allah walaupun dia seorang diri, bukannya perpaduan adalah bersatunya seluruh manusia sesama mereka.
Sekiranya perpaduan adalah bergabung semua manusia, lantas bagaimana kita mahu letak perkataan Ibn Mas’ud yang menetapkan bahawa perpaduan adalah menggabungkan diri dengan HAQ walau bersendirian?
Fudhail Bin Iyad berkata: “Barangsiapa menikahkan saudara perempuannya dengan ahlul bidah, maka berarti dia telah memutuskan silaturahim dengannya dan barangsiapa duduk bersama ahlul bidah, maka ia tidak diberi hikmah. Dan apabila Allah Yang Maha Mulia mengetahui dari seorang lelaki bahwa dia membenci ahlul bidah maka aku berharap Allah akan mengampuni dosanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda yang artinya : Seseorang itu di atas agama orang yang dicintainya, maka hendaklah setiap orang dari kalian melihat siapa yang menjadi kekasihnya”.
Lihat bagaimana Tabi’in memahami bahawa perpaduan bukanlah bergabung bersama seluruh manusia, melainkan menggabungkan diri kepada Tali Allah.
Ini harus dipahami wahai Ikhwanul Muslimin dan orang yang sepaham denganmu, bahawa persatuan yang Allah kehendaki adalah manusia bersatu dengan Tali-Nya, bukan manusia bersatu sesama mereka. Maka ketika kita kembalikan pemahaman ini – perpaduan adalah menyatukan diri dengan HAQ walau sendirian – kepada ayat Ali Imran tadi, maka kita akan melihat bahawa perintah untuk berpegangteguh dengan Manhaj Salaf berupa sebuah proses perpaduan, dan juga ayat ini tidak menjadi hujjah untuk memanggil semua manusia agar berkerjasama.
Inilah yang dijelaskan oleh Rasulullah saw ketika baginda mentafsir Kalam Allah: “Dan sesungguhnya, inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah jalan itu, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain, maka jalan-jalan tersebut akan memisahkan kamu dari jalan-Nya” [Al-An’am: 153]
“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam menggaris garisan lurus dengan tangannya lalu menggaris garis-garis di sebelah kanan dan kiri kemudian membaca ayat: (Inilah jalanKu yang lurus) [Al-An’am: 153] kemudian meletakkan tangannya di atas jalan yang lurus dan bersabda: Inilah jalan Allah. Dan yang ini adalah jalan-jalan, tiada satu jalanpun melainkan di atasnya ada syaitan yang menyeru kepadanya” (H R Nasaii dan Darimi)
Oleh itu, Rasulullah menjelaskan bahawa setiap jalan yang menyesatkan itu ada syaitan dan setiap syaitan ini akan menyeru “Kemarilah, inilah jalan yang benar”. Lantas banyaklah manusia yang tersesat dan menyelisihi Sunnah. Ketika itulah Ahlus Sunnah akan datang kepada mereka dan mengajak mereka kembali kepada jalan yang lurus. Hasilnya ada yang menurut dan banyak pula yang menentang.
Bagi yang menentang, Allah telah janjikan bahawa mereka akan terus sesat tanpa penghujungnya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul Allah sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, Kami (Allah) biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa: 115]
Kemudian Rasulullah menjelaskan bahawa orang yang mengingkari Rasul untuk bersama dengan al Jamaah, harus ditentang:
“Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahawa Tidak ada ilah (yang patut disembah) kecuali Allah dan bersaksi bahwa saya (Muhammad) itu Rasul Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga hal: seorang yang sudah menikah berzina, orang yang membunuh jiwa, dan meninggalkan agamanya yaitu meninggalkan jama’ah” [Hadits muttafaq’alaih, al-Bukhari dan Muslim]
Lantas, bagaimana mahu bergabung dengan ahlul bid’ah jika Rasulullah saw membenarkan kita memancung mereka? Fikirkanlah wahai tuan-tuan yang bijaksana.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya hadits yang panjang dari sahabat Hudzaifah. (Dalam hadits itu ia berkata,) “Apa yang harus kulakukan bila menjumpai hal itu?” Rasul menjawab, “Engkau tetap komitmen dengan jamaah muslimin dan penguasanya / imamnya”. “Bila tidak ada jamaah dan imamnya,” lanjut Hudzaifah. Rasul menjawab, “Engkau jauhi semua firqoh-firqoh walau harus menggigit akar pohon sampai engkau mati engkau tetap seperti itu.”
Allah Memerintahkan Ahlus Sunnah Menjauhi Ahlul Bid’ah
Keyakinin ini dijelaskan oleh Allah sendiri dalam Kitab Suci, pada banyak ayat, sehinggakan makna yang diinginkan oleh para Ahlul Bid’ah itu terbatal. Malah ayat-ayat yang mereka jadikan sandaran sebenarnya menjelaskan perintah larangan dari menyelisihi Tali Allah iaitu mazhab Salaf.
[1]
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)” (Al An’am : 68)
Imam Qurtubi berkata: “Dalam ayat ini terdapat bantahan dari Kitabullah Azzawajalla terhadap orang yang mendakwa bahawa pemimpin mereka sebagai dalil hujjah dan pengikut-pengikut mereka memiliki hak untuk bergaul dengan orang-orang fasik dan membenarkan pendapat mereka sebagai bentuk taqiyah” (Tafsir Al Qurtubi)
Imam At Thabari berkata pula menyebutkan dari Abu Ja’far: “Janganlah kalian duduk bersama ahli debat kerana mereka suka memperolok ayat Allah”. (Tafsir At Thabari)
Ibn Khuwaiz Mindad berkata: “Barangsiapa yang suka memperolok-olok ayat Allah maka tidak boleh duduk bersama mereka dan wajib dipulau, sama ada dia orang beriman atau kafir”. Kemudian dalam kesempatan lain, beliau berkata: “Demikian pula para penganut mazhab, kami melarang untuk memasuki daerah musuh dan gereja mereka, jual beli dan duduk bersama orang kafir dan ahli bid’ah, tidak mencintai mereka, tidak mendengar perkataan dan perdebatan mereka”.
Sementara itu Imam As Syaukani berkata: “Dalam ayat ini terdapat nasihat yang sangat berguna bagi orang yang bertoleransi dengan duduk bersama ahlul bid’ah, yang mengubah Kalamullah, mempermainkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Mereka mengembalikan itu semua kepada nafsu mereka yang menyesatkan dan kebid’ahan mereka yang rosak … orang yang mengenal syariat suci ini dengan baik akan mengetahui bahawa duduk bersama ahlul bid’ah akan menimbulkan kerosakan yang berlipat kali ganda daripada duduk bersama orang yang bermaksiat kepada Allah dengan melakukan perbuatan haram” (Fathul Qadir)
[2]
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”. (An Nisa : 140)
Imam Adh Dhakhak berkata: “termasuk dalam ayat ini adalah orang yang membuat perkara baharu dalam urusan agama disebut sebagai mubtadi’ hingga kiamat”.
Imam Al Qurtubi berkata dalam tafsirnya: “Sudah berlalu penjelasan dalam An Nisa dan ayat ini (al An’am : 153) melarang untuk duduk dengan ahlul bid’ah dan ahlul ahwa. Dan orang yang duduk bersama mereka dihukum sama seperti mereka … pendapat ini dikatakan oleh sebahagian besar imam umat ini, mereka menetapkan konsekuansi ayat-ayat ini adalah larangan bergaul dengan ahlul bid’ah, berjenaka dan berbaur dengan mereka. Diantara mereka adalah Imam Ahmad Bin Hanbal, Al Auza’i dan Ibn Mubarak. Mereka berkata tentang seseorang yang bergaul dengan ahli Bid’ah: ‘Dilarang untuk duduk bersama mereka, jika dia telah tahu larangan tersebut, dan jika dia tidak mahu meninggalkan ahli bid’ah maka dia dihukum sama seperti mereka”.
[3]
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan”. (Huud : 113)
Imam Al Qurtubi berkata: Makna yang sohih dari ayat ini adalah bahawa ia menunjukkan pensyariatan untuk memulau orang kafir, para pelaku maksiat, kalangan ahli bid’ah dan selain mereka”.
[4]
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung” (Al Mujaadilah : 22)
Imam Malik menggunakan ayat ini sebagai dalil memusihi Kaum Qadariyah. Imam Al Qurtubi berkata sedemikian dalam Tafsirnya. Asyhab berkata Imam Malik berkata: “Jangan kalian bergaul dengan Qadariyah dan musuhilah mereka kerana Allah berfirman (surah Al Mujaadilah : 22)”
Rasulullah Menyuruh Ahlus Sunnah Menjauhi Ahlul Bid’ah
Terdapat sekian banyak dalil dari Rasulullah saw tentang menjauhi dan memulau Ahlul Bid’ah. Sehingga masalah ini menjadi maklum dikalangan ahlus sunnah. Yang tidak tahu itu hanyalah orang yang malas mebajar dan tidak mahu mengenali sunnah Rasulullah saw.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadith: “Akan datang di masa hadapan kepada umatku, manusia berbicara kepada kalian dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh kalian dan juga orang tua kalian, maka JAUHILAH mereka dan mewaspadailah mereka dari kalian”
Dalam hadith ini dengan tegas dan jelas mewajibkan kita agar menjauhi ahlul bid’ah. Maka jika diperintah untuk menjauh, bagaimana mahu bersama dan berpadu? bukankah itu seperti dua hal yang saling bertentangan iaitu anatar perintah untuk bersatu dan larangan untuk mendekat?
Rasul saw bersabda tentang kaum Qadariyah: “Pada setiap umat akan ada Majusi dan Majusi umat ini adalah orang yang berkata ‘Tidak ada taqdir’. Apabila mereka sakit maka janganlah kalian menjengoknya dan apabila mereka mati maka janganlah kalian mengunjunginya” (H R Ahmad, At Thabari dan Al Hakim)
Begitu juga Rasul saw melarang kita dari menjengok ahlul bid’ah yang sakit atau yang meninggal. Maka jika sakit sahaja tidak boleh datang menjengok, lantas bagaimana jika ahlul bid’ah itu sebagr bugar? Apakah ketika segar bukar kita bisa bermesyuarat dan bergabung bersama mereka namun ketika mereka sakit dan mati, maka kita tiharamkan datang kepada mereka? Pasti ketika mereka sihat lagi dilarang keras.
Seterusnya Rasulullah bersabda:
“Tidaklah setiap Nabi diutus oleh Allah pada umat sebelum kamu melainkan mereka memiliki hawariyyun (pembela) dari umatnya. Dan sahabat-sahabat yang mereka mengambil sunnah-sunnah nya dan mengikuti perintahnya. Lalu datanglah orang setelah mereka yang mengatakan apa yang tidak mereka (sahabat) kenali dan mengajak apa-apa yang tidak diperintahkan. Maka barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, bererti dia mukmin dan tidak ada setelah itu (memerangi dengan hati) makna keimanan sedikitpun” (H R Muslim)
Apakah makna hadith ini bahawa kita – Ahlus Sunnah – diperintah menjadi munafik dengan menyimpulkan sekuntum senyuman di bibir namun di hati menyimpan rasa benci? Demi Allah, seorang Ahlus Sunnah itu bukan munafik! Maka dalam hadith ini Rasulullah menggambarkan selemah-lemah iman bagi Ahlus Sunnah iaitu membenci ahlul bid’ah dengan hati mereka. Maka jika seorang ahlus sunnah itu tebal imannya, pasti dia akan memulau ahlul bid’ah.
Begitu juga hadith-hadith seputar kaum Khawarij:
“Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini satu kaum; yang membaca al-Qur’an, namun tidak melewati kerongkongannya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Jika sekiranya aku menemui mereka, pasti aku bunuh mereka seperti terbunuhnya kaum ‘Aad. (H R Bukhari dan Muslim)
“Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka. Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat” . (H R. Muslim)
Diriwayatkan pula dari Sa’id bin Jamhan, beliau berkata: “Saya masuk menemui Ibnu Abi Aufa dalam keadaan beliau telah buta, aku berikan salam kepadanya. Ia pun menjawab salamku, kemudian bertanya: “Siapakah engkau ini?”. Aku menjawab: “Saya Sa’id bin Jamhan”. Dia bertanya lagi: “apa yang terjadi pada ayahmu?” Aku menjawab: “Dia dibunuh oleh sekte Azariqah”. Maka Ibnu Abi Aufa mengatakan tentang azariqah: “Semoga Allah memerangi Azariqah, sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan kepada kami: Ketahuilah bahwa mereka adalah anjing-anjing penduduk neraka”. Aku bertanya: “Apakah sekte azariqah saja atau seluruh khawarij?” Beliau menjawab: “Seluruh khawarij”. (As-Sunnah Ibnu Abi Ashim)
Lantas dengan meneliti hadith ini kita akan mengerti bahawa Rasulullah saw menyuruh kita memerangi kaum Khawarij malah diperintahkan untuk membunuh mereka. Lalu bagaimana kita bisa bersama-sama kaum Khawarij dan berteriak “Perpaduan itu diutamakan”.
Sahabat dan Kaum Salaf Memerangi Ahli Bid’ah
Telah menjadi ijma sahabat dan kaum salaf pada 3 kurun utama bahawa mereka memerangi dan memulau ahlul bid’ah. Banyak ucapan dan penyaksian yang menyebut hal demikian.
Qadi Abu Ya’la berkata: “Para sahabat dan tabi’in telaj ijma untuk memutus hubungan dengan ahli bid’ah”.
Imam Al Baghawi berkata dalam kitab beliau: “Para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka serta ulama’ ahlus sunnah telah ijma untuk memusihi ahlul bid’ah dan memulau mereka” (Syarhus Sunnah)
Ibn Mas’ud berkata: “Barangsiapa yang berjumpa dengan zaman tersebut (dimana ahlul bid’ah berleluasa) maka hendaklah dia lari meninggalkan mereka”. Maka tabi’in bertanya: “Lari kemana?”. Maka Ibn Mas’ub menjawab: Tidak kemana-mana”, dan beliau menyambung lagi: “Lari dengan membawa hati (aqidah) dan agamanya dengan tidak bergaul dengan seorang pun dari ahlul bid’ah” (Syarah Ushul I’tiqad oleh Imam Al Laalika’i)
Fudhail Bin Iyad berkata: “Barangsiapa yang duduk bersama ahlul bid’ah maka hati-hatilah dia. Dan barangsiapa yang duduk dengan ahli bid’ah maka dia tidak akan mendapat pelajaran. Aku berharap ada tembok besi antara aku dan ahli bid’ah. Dan aku lebih rela makan bersama Yahudi dan Nasrani dari makan bersama ahli bid’ah” (Al Laalika’i dan Al Barbahari)
Beliau berkata lagi: “Aku berjumpa dengan generasi umat yang terbaik (iaitu sahabat), mereka semua adalah orang yang setia menegakkan sunnah dan mereka melarang dari bergaul dengan ahli bid’ah” (Al Laalika’i)
Ibn Abi Zur’ah meriwayatkan dari ayah beliau: “Sungguh aku melihat Shobigh Bin Asl di kota Basrah, dia seperti unta sakit yang mendatangi halaqah-halaqah. Setiap kali dia menghampiri sebuah majlis maka orang ramaipun berdiri dan meninggalkannya. Lalu apabila dia duduk bersama satu kaum yang tidak mengenalinya maka orang dari majlis lain akan berteriak: “Dia adalah musibahnya Amirul Mu’minin (UmarAl Khattab).
Abu Musa berkata: “Bertetangga dengan Yahudi dan Nashrani lebih aku sukai daripada bertetangga dengan pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena ini menyebabkan hatiku berpenyakit.” (Al Ibanah )
Abul Jauza berkata : “Seandainya tetanggaku kera dan babi itu lebih aku sukai daripada seorang dari ahli ahwa menjadi tetanggaku dan sungguh mereka termasuk yang disebut dalam ayat : Dan jika mereka bertemu kamu, mereka berkata : “Kami beriman.” Dan jika mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jarinya lantaran marah dan benci kepadamu. Katakanlah : “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.” Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. ( Ali Imran : 119) (Al Ibanah)“
Al Awwam bin Hausyab berkata mengenai anaknya, Isa : “Demi Allah, sungguh jika aku lihat Isa duduk dengan tukang musik dan peminum khomr dan orang yang bicara sia-sia lebih aku sukai daripada aku melihatnya duduk dengan tukang debat ahli bid’ah.” (Al Bida’)
Yahya bin Ubaid berkata : Seorang Mu’tazili menemuiku ingin bicara. Lalu saya berdiri dan berkata : “Kamu yang pergi dari sini atau saya karena sesungguhnya saya berjalan dengan nashrani lebih saya sukai daripada berjalan bersamamu.” (Al Bida’)
Sa’id bin Jubair berkata : “Seandainya anakku berteman dengan orang fasiq licik tapi sunniy lebih aku cintai daripada ia berteman dengan ahli ibadah namun mubtadi’.”(sy Syarhu wal Ibanah Ibnu Baththah)
Imam Al Barbahary berkata : “Jika kamu dapati seorang sunniy yang jelek thariqah dan madzhabnya, fasiq dan fajir (durhaka), ahli maksiat sesat namun ia berpegang dengan sunnah, bertemanlah dengannya, duduklah bersamanya sebab kemaksiatannya tidak akan membahayakanmu. Dan jika kamu lihat seseorang giat beribadah, meninggalkan kesenangan dunia, bersemangat dalam ibadah, pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) maka jangan bermajelis atau duduk bersamanya dan jangan pula dengarkan ucapannya serta jangan berjalan bersamanya di suatu jalan karena saya tidak merasa aman kalau kamu merasa senang berjalan dengannya lalu kamu celaka bersamanya.” (Syarhus Sunnah)
Bukti Permusuhan Ahlus Sunnah Dengan Ahlul Bid’ah Adalah Prisnsip Wala’ Wal Bara’
Setelah melihat betapa kaun Salaf telah ijma dalam memerangi ahlul bid’ah maka para ulama ahlus sunnah mentapkan bahawa prinsip aqidah ahlus sunnah , antara lainnya adalah prinsip Wala’ Wal Bara’.
Dalam masalah wala’ wal bara’ ini, para ulama ahlus sunnah menerangkan siapa itu ahlil bid’ah dan orang awam yang melakukan bid’ah.
Maka setelah dikenalpasti ahlul bid’ah maka ulama menetapkan sebuah hukum yang dinamakan sebagai Jajr atau memulau. Para ulama menjelaskan hukum hajr ini mengikut kondisi umat Islam, seperti persoalan apakah wajar di hajr ketika Ahlus Sunnah tertindas atau wajib hajr ketika ahlus sunnah meluas?
Maka jika kita telah bersatu-padu bersama ahlul bid’ah, bererti kita telah menghilangkan prinsip wala’ wal bara’ pada dasar keimanan kita, sekaligus kita telah menghapuskan hukum hajr yang diperintahkan oleh Rasulullah saw.
Oleh yang demikina, kita dapati, bahawa sesiapa yang beriman bahawa wajib atau harus berkerjasama dengan ahlul bid’ah dalam rangka menegakkan Islam, bererti dia sangatlah jahil tentang Islam dan dia sebenarnya tidak mengerti aqidah Islam.