Posts Tagged ‘ittidah’

Sanatana Dharma Dan Pandangan Sufi

Disember 8, 2008
Aksara Brahman - Allah yang Maha Esa

Brahman - Allah yang Maha Esa

 

एकम् सत् विप्रा: बहुधा वदन्ति

“Hanya ada satu kebenaran tetapi para cendiakawan menyebut-Nya dengan banyak nama.”
Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)

 

Tuhan itu hanyalah satu. Siapa bilang tuhan itu ada dua, atau tiga atau berbilang? Tiada duanya tuhan itu, dan yang maujud hanyalah Dia – sang Brahman yang tunggal, yang menciptakan dan memusnahkan alam. Tuhanlah yang menjadikan tiap-tiap jiwa.

Untuk itu tuhan telah menciptakan makhluk dari percikan dirinya – inilah yang dikatakan sebagai “atman”. Lalu cahaya tuhan ini akan terus menerus mengalir dalam jasad manusia. Maka manusia yang mencari kebenaran akan menjumpai jalan cahaya. Maknanya manusia yang telah mendapat kasadaran akan mengenal tuhannya dan akhirnya dia mengerti bahawa jiwanya adalah sebahagian dari ketuhanan.

Manusia bisa mengapai kesadaran ini dengan harus menuju moksa – tahapan tertinggi jiwa dalam beragama berupa kelepasan dari terikat dengan duniawi. Moksa adalah kembalinya atma kepada brahman; iaitu sadar manusia akan dirinya berupa tajalli kepada Tuhan yang esa.

Setelah manusia bertemu tuhannya dalam kasadaran tajalli – moksa – maka terhentilah putaran jiwa iaitu proses samsara; jiwa meloncat-loncat dari satu jasad kepada jasad yang lain. Kerna jiwa yang telah sadar itu telah bersatu dengan Tuhan. Makanya manusia itu bisa disebut telah bertemu hakikat mutlak dalam kehidupan. Inilah dia ittihad – hulul.

Pada tahapan ini manusia telah suci jiwanya dan dia barangkali telah sampai pada penghujung jalan kerohanian. Dan dia sudah bisa dipanggil sebagai manusia yang hampir pada Brahman – Tuhan yang Esa. Mungkin juga dia adalah percikan cahaya agung yang bisa menjadikan dis seorang Resi, atau juga Dewata; sebuah jasad yang dimiliki oleh manusia tetapi jiwanya adalah dari Tuhan.

Lalu manusia yang masih lagi tak ketemu moksa, yang mungkin dalam dalam masih keadaan fana, dia bisa saja memuja manusia suci ini, kerna dia bukanlah  menyembah manusia itu tetapi dia menjadikan resi tersebut sebagai perantaraan kepada tuhan.

 

sa tayā śraddhayā yuktas
tasyārādhanam īhate
labhate ca tatah kaman
mayaiva vihitān hi tān
(Bhagavad Gītā, 7.22)

setelah diberi kepercayaan tersebut,
mereka berusaha menyembah Dewa tertentu
dan memperoleh apa yang diinginkannya. Namun sesungguhnya
hanya Aku sendiri yang menganugerahkan berkat-berkat tersebut

 

Tak pernah dalam hati mereka untuk menduakan Tuhan Brahman kerna mereka percaya dan beriman bahwa hanya dialah yang layak disembah. Namun kerja jiwa mereka yang belum pernah menemukan hakikat, dan bahwa mereka adalah mansuia yang selalu berbuat silap, maka selayaknya  mereka mengharapkan seseorang untuk mengemudi munajat mereka kepada Tuhan yang Satu, justeru selayaknya lah manusia yang telah menemui moksa – hulul.

Lalu mereka – para manusia – memuja para dewa aka Resi alias para syeikh. Mereka menjelmakan wajahnya dalam solat dan zikir, menyebut namanya ketika kelam dan kabut. Mengunjungi kuburnya dan meratapi. Meminta pertolongan dan pengharapan kepada nama mereka. Semuanya hanyalah sebagai wasilah menuju kepada taqarrub kepada Ilah. Tak terbesit dalam niat mereka untuk menjadikan para manusia suci itu sebagai Tuhan. Manusia tak mungkin mengambil alih tahta Brahman.

Satu yang harus dimengertikan bahwa wujud resi itu bukanlah hanya satu, bukan dua, bukan tiga, malah jiwa yang moksa itu berbilang. Resi lahir dan wujud pada setiap zaman dan setiap tempat sesuai dengan wujud manusia yang beragam. Maka manusia yang ingin menggapai jalan Tuhan bisa memilih jalan-jlan yang sesuai bagi jiwa mereka dalam menempuh jalan Tuhan;

 

Jalan mana pun yang ditempuh manusia kepada-Ku, semuanya Aku terima dan Aku beri anugerah setimpal sesuai dengan penyerahan diri mereka. Semua orang mencariku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna) – [Bhagawadgita Bab IV sloka 11]

 

Oleh itu manusia bisa saja mengikuti Tariqat Naqsyabandi, atau Jisti, atau Qadari, atau apa saja asalkan dia bisa menemukan Tuhan akhirnya. Menemukan Tuhan pada mata dunia bukanlah Allah itu akan menjelma dihadapannya, melainkan “mata rohani” melihat Tuhan itu timbul pada semua yang maujud. Bila matanya melihat awan maka yang tanpak pada awan itu adalah Zilullah – bayangan Allah. Lalu dialihkan pandangannya kepada pepohon lalu Tuhan menjelma di situ, yang ada hanyalah Brahman dan bukan pokok rumbia. Lalu bila dilihat pada dirinya sendiri, pandangannya sirna kerna apa yang tanpa hanyalah wujud Tuhan.

Tuhan tidak akan membenci dan memurkai hambanya yang ingin menuju kepadanya walaupun mereka mengambil wasilah yang berbeda antara satu sama lain. Kerna wasilah hanyalah luaran, ataupun alat padahal yang hakikat itu adalah yang teragung – berupa maksud mencari wujud Tuhan.

 

Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati,
tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham
(Bhagavad Gītā, 7.21)

Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap

 

Kerna itulah setiap jalan yang ditempuh oleh manusia yang beriman akan wujud tuhan yang satu, maka manusia lain tidak ada wewenang untuk mengatakan bahwa jalan tersebut sesat – dhalal, kerna rahasia itu milik Tuhan dan selalunya manusia tidak dapat menangkap rahasia Tuhan.

Yang penting Tuhan telah berbicara lewat Resi atau bisa dipanggil Syeikh Mursyid. Melalui resi itulah tuhan mengajarkan manusia akan dharma – kebenaran. Satu ajaran yang sebenarnya berupa wahyu yang terpacul dari lidah sang resi. Bukanlah resi itu yang berbicara tetapi Tuhan langsung berkata-kata menggunakan perantaraan Resi. Jesteru syariat itu akan terus berlangsung selagi mana wujud jiwa moksa.

 

Ketika agama telah dirusak dan bangkitnya kebatilan, maka Saya akan menjelmakan diri untuk melindungi kebenaran dan untuk menghancurkan kejahatan dan untuk menegakkan yg benar, dan Saya akan lahir pada setiap jaman – Bhagavat Gita (4) : 7-8

Ketika kebenaran itu telah hancur dan perbuatan dosa telah semakin merajalela, Saya akan menjelmakan diri – Bhagavat Purana Khand 9 Adhyay 24 Shloka 56

 

Bukanlah Tuhan itu merubah bentuk kepada manusia lalu turun ke bumi untuk mengajarkan dharma, tetapi dia menjelma ke dalam jiwa sang resi lalu berkat-kata kepada manusia. Kerna permulaan kejadian alam ini Tuhanlah juga yang memercikkan jasadnya lalu terbentuklah makhluk. Maka dengan sedikit percikkan cahaya tuhan yang maujud dalam jasad manusia yang moksa itulah yang menjadikan para resi itu punya sifat ketuhanan.

Lalu bagaimana tanggapan manusia yang moksa itu terhadap tuhan; wujud tuhan itu bagaimana rupanya? Lalu Isavasya Upanishad berkata tentang Tuhan:

 

tad ejati tad naijati
tad dure tad vantike
tad antarasya sarvasya
tad u sarvasyasya bahyatah

Beliau bergerak, Beliau juga tidak bergerak
Beliau jauh, Beliau juga sangat dekat
Beliau ada di dalam segala-galanya
Beliau ada di luar dari segala-galanya

 

Begitu juga dalam kitab wayhu Bhagavan Gita:

 

baḥir antaś ca bhūtānām acaraṁ caram eva ca, sūkṣmatvāt tad avijñeyaṁ dūra-sthaṁ cāntike ca tat

Beliau berada di luar dan di dalam segala insan, tidak bergerak namun senantiasa bergerak, Beliau di luar daya pemahaman indria material. Beliau amat jauh, namun juga begitu dekat kepada semua makhluk [bhagavan gita]

 

Bererti bahawa tuhan itu wujud tak bertempat, Dia tak memiliki wujud tertentu mahupun tempat tertentu, malah Tuhan bisa berada dimana-mana dan sebarang masa serta bisa menyatu dengan apa-apa saja. Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, dia tidak berada di syurga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya. Inilah yang manusia sekarang sebutkan sebagai faham Panteisme juga bisa diistilahkan dengan Wyapi Wyapaka. Maka barangsiapa yang beriman bahwa tuhan itu di Langit bersemayam di Kursi maka keimananyang rusak.

Oleh itu, menaggaggapi hakikat Tuhan itulah yang harus diutamakan oleh manusia; menjejaki jalan-jalan yang bisa menyampaikan atma kepada brahman; menemukan cebisan ruh Ilahi kepada Hakiki.

Apa saja jalan yang ditempuh oleh atma dalam pencarian itu, tak harus dipertikaikan dan disesatkan kerna jalan menuju puncak itu bisa saja berbagai dan berliku, dan setiap manusia bisa memilih jalan0jalan yang sesuai dapa rohaninya.

Kerna kebenaran itu satu. Tuhan itu satu.